Banjarmazine
PAPER TOWNS: MENCARI JATI DIRI DI KOTA KERTAS
John Green
360 halaman; 20 cm
Goodreads rating: 4,01
Gramedia Pustaka Utama, 2014
----
Margo menyukai misteri sejak dulu. Dan dalam semua hal yang terjadi setelahnya, aku tidak pernah bisa berhenti berpikir bahwa jangan-jangan lantaran terlampau menyukai misteri, dia pun menjadi misteri ~ Hal. 15
---
Paper Towns secara resmi adalah novel kedua dari John Green yang akan diangkat ke layar lebar, setelah The Fault in Our Stars. Bahkan sebelum filmnya resmi release di USA bulan Juli depan, ada kabar resmi lagi dari John Green kalau Looking For Alaska juga akan difilmkan. Bisa dikatakan John Green adalah the next Nicholas Sparks.
Misterius, unik, sangat lucu, dan penuh metafora.
“Aku tak peduli kau mengacaukan hidupmu, tapi jangan permalukan kami di depan keluarga Jacobsen – mereka teman kami” hal. 38
Lalu ada orang tua Q yang menganggap karakteristik Q sebagai anak baik adalah keberhasilan cara asuh mereka. Bahwa mereka mengenal Q luar dalam. Padahal sebenarnya ada yang kurang dari cara asuh mereka. Mereka tidak mengenal Q sepenuhnya. Q tahu persis bagaimana mengelabui kedua orang tuanya.
Sorotan lain dalam Paper Towns adalah kata-katanya. Pseudovisi, kuldesak. Dua kata itu sering sekali disebutkan dalam cerita dan gue harus googling untuk mencari tahu apa artinya. Lalu ada metafora-metafora yang disisipkan John Green dalam ide utama cerita ini. Metafora senar, rerumputan, dan wadah. Dont ask me, I have no idea. Sumber dari metafora itu adalah literature sastra Amerika, jadi gue benar-benar kesulitan memahaminya.
“...Kita tidak kekurangan metafora, itulah yang kumaksud. Tapi kau harus berhati-hati memilih metafora, karena itu penting. Kalau kau memilih senar, artinya kau membayangkan dunia di mana kau bisa pecah tanpa dapat diperbaiki lagi. Kalau kau memilih rerumputan, kau mengatakan kita semua terhubung, bahwa kita bisa memanfaatkan sistem akar itu bukan hanya untuk memahami satu sama lain tapi juga menjadi satu sama lain. Metafora itu memiliki implikasi...” Hal. 346
Pertanyaan gue cuma satu: bagaimana bisa Margo kecil mengerti metafora senar?
Paper Towns banyak menggunakan referensi tempat Orlando, Florida. Jadi ketika karakter-karakter di novel ini bergerak dari satu tempat ke tempat lain yang dijelaskan dengan nama-nama tempat, cuma orang-orang yang mengenal Orlando, Florida yang bisa membayangkan dengan sempurna setting tempatnya.
Paper Towns atau Kota Kertas sendiri memiliki arti yang berbeda-beda. Kertas sebagaimana dimaksudkan di awal maknanya palsu. Lalu Kota Kertas bisa juga dimaknai sebagai bagian kota yang tidak selesai dibangun dan menjadi terbengkalai. Atau Kota Kertas diartikan sebagai kota fiktif yang keberadaannya hanya ada di peta sebagai jebakan hak cipta bagi para pembuat peta jika ada yang menjiplak peta mereka. Kota Kertas dalam cerita ini menjadi petunjuk penting untuk menemukan Margo.
Paper Towns dibagi dalam tiga bagian cerita. Bagian pertama, senar. Bagian kedua, rerumputan. Bagian ketiga, wadah yang merupakan bagian paling lucu dan paling asyik untuk dibaca. Kalian pasti akan kesulitan untuk menahan ketawa saat sampai di bagian ini, terutama karena ulah Ben. Quentin, Ben, Radar, dan Lacey melakukan perjalanan akhir untuk menemukan Margo. Dan di bagian inilah interaksi karakter mereka yang sangat-sangat-sangat gue sukai. Menjawab pencarian jati diri yang gue sebutkan sebelumnya: mereka menjadi diri sendiri di dalam kelompok.
Margo Roth Spiegelman, pantas dibahas di akhir. Karena selain sebagai karakter, Margo juga adalah ide dan tema cerita. Orang yang menjadi awal dan akhir, sebab dan akibat dari keseluruhan yang terjadi pada karakter-karakter di novel ini. Uniknya karakter Margo adalah ia tetap semu, tidak terdefinisi, enigma, atau misteri. Hingga akhir.
Ending Paper Towns terasa tepat dan benar. Maksud gue, pembaca ingin akhir yang bagaimana lagi? Apa yang ditulis John Green merupakan ending paling realistis yang bisa didapatkan Quentin dan Margo. Gue sudah membayangkan “bagaimana jika A” atau “bagaimana jika B” dan itu justru akan menurunkan derajat novel ini menjadi biasa.
Rating:
ps: Gue gak memberi rating sempurna karena gue gak bisa membayangkan Orlando, Florida secara sempurna dan sebagian besar lagi karena bagian-bagian dari metafora novel ini yang susah untuk dimengerti.
Quote:
“Kesalahan mendasar yang selalu kulakukan – dan dia, sejujurnya, selalu mendorongku melakukannya- adalah ini: Margo bukan keajaiban. Dia bukan petualangan. Dia bukan sosok yang luar biasa dan berharga. Dia hanya seorang gadis.”
Post a Comment
1 Comments
makasih banyak kak buat reviewnya, keren. semangat kak buat tulisan2 selanjutnya!
ReplyDelete