Fiksi
TURTLES ALL THE WAY DOWN
Turtles All The Way Down
John Green
Qanita
Cetakan I, 2018
344 halaman
Goodreads rating: 4
--
Seorang miliarder menghilang dan siapapun yang bisa memberikan petunjuk mengenai keberadaannya akan dihadiahi imbalan seratus ribu dolar. Aza mengenal Davis, anak sang miliarder. Dengan bujukan Daisy, mereka bersama-sama berusaha mencari petunjuk dan mendekati Davis. Namun tidak hanya memecahkan misteri, Aza juga harus bertarung melawan dirinya sendiri.
**
Pertama-tama, ini novel John Green favorit gue. Ya posisinya sebelas dua belas sama Paper Towns.
Secara alur cerita, kisah novel ini memang tentang Aza dan Daisy yang berusaha mencari keberadaan si miliarder Rusell Picket. Tetapi di balik itu semua, tema utamanya adalah tentang mental illness. Di hampir setiap halaman Aza selalu mengkhawatirkan kalau dirinya akan terserang bakteri dan pada akhirnya meninggal.
Aza mempunyai luka kapalan di jari tengahnya. Luka itu selalu ditutupi dengan band-aid. Ketika Aza merasa terkontaminasi oleh bakteri, ia akan membuka band-aid itu dan membasuh lukanya sampai ia merasa yakin sudah bersih, bahkan sampai menuang cairan antiseptik ke luka tersebut, dan mengganti band-aid. Kehidupannya jadi terganggu karena pikiran-pikiran Aza selalu kembali pada hal itu. Gue gak mau menceritakan ekstremnya bagaimana, takut spoiler, tapi ketakutan Aza ini jadi faktor yang menentukan bagaimana dia mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya. Karena hal itu pula, Aza kadang terlalu fokus dengan dirinya sendiri. Always on her mind, with her own problem.
Yang membuat gue berpikir kalau buku ini istimewa karena dalam menceritakan ketakutan Aza, John Green gak bercerita tapi dia menunjukkan. Dia membuat pembaca mengerti bagaimana rasanya menjadi Aza dan berada dalam pikiran yang tidak bisa ia hindari. Bagaimana akibat hal itu pada orang-orang di sekitar Aza. Because of that, it sets the tone of this book a little bit somber, in my opinion.
Sembari berusaha melawan pikiran-pikirannya yang tidak terkendali itu, upayanya dan Daisy mencari petunjuk keberadaan Rusell Picket justru membuatnya jadi dekat dengan anak sang miliarder, Davis Picket. Hubungan mereka berdua ini menurut gue, datar aja. Entah kenapa mereka mengingatkan gue sama pasangan Alyssa dan James, di seri The End of The Fxxking World. Memang ada beberapa bagian favorit gue di mana mereka berbaring berdua di rumput, memandangi bintang, galaksi, sistem tata surya. Di mana Davis menjelaskan kalau makhluk di sistem tata surya yang mereka pandang, sedang melihat cahaya bumi dalam jarak beberapa tahun yang lalu.
Kalau dipikir-dipikir lagi, there is nothing much happening on the plot. Alur ceritanya tentang Aza dan Daisy yang menjadi detektif lalu sering kali upaya mereka dijeda oleh pikiran-pikiran Aza yang tidak terkendali. Ini jenis novel yang kekuatannya bukan di alur cerita. Gue gak menemukan kata untuk menjelaskannya. Tapi ini novel yang akan membuat kalian memikirkan, mempertanyakan, & merenungkan kehidupan.
Kalau kalian berharap ada humor khas John Green seperti yang kalian baca di Paper Towns atau Abundance of Katherines, you won’t get it here. Turtles All The Way Down lebih suram dari Looking For Alaska, tapi lebih bagus. I don’t know how it would affect you, but it kicks me in the gut at the very first page. Baru halaman pertama, dan gue sudah disajikan dengan kata-kata yang sangat mendalam, yang kalau gue biasanya langsung tiba-tiba berpikir makna kehidupan dan semacamnya. LOL.
Novel ini juga sedikit banyak mengenai persahabatan Daisy dan Aza. Gue tahu peran Daisy cukup banyak di novel ini, tapi gue gak melihat chemistry persahabatannya dengan Aza. Entahlah, tapi gue merasa dia cuma muncul ketika diperlukan di plot. Ketika John Green ingin alur ceritanya maju ke scene berikutnya, dia masukkan Daisy sebagai trigger. Bondingnya dengan Aza gak kelihatan. Walaupun gak adil membandingkan, tapi jika dibandingkan dengan Hassan, Tiny Cooper, atau Ben, penokohannya sebagai sahabat karakter utama cukup flat.
Satu-satunya hal yang akan gue keluhkan dan keliatannya agak gak masuk akal adalah begitu mudahnya Aza dan Daisy memperoleh data rahasia melalui browsing di internet. Ini gue yang kudet atau mereka yang memang berbakat jadi hacker, gue gak tahu.
KESIMPULAN
Entah kenapa bagus, walaupun tidak memenuhi banyak kriteria novel bagus. Favorit.
RATING
QUOTE
John Green
Qanita
Cetakan I, 2018
344 halaman
Goodreads rating: 4
--
Seorang miliarder menghilang dan siapapun yang bisa memberikan petunjuk mengenai keberadaannya akan dihadiahi imbalan seratus ribu dolar. Aza mengenal Davis, anak sang miliarder. Dengan bujukan Daisy, mereka bersama-sama berusaha mencari petunjuk dan mendekati Davis. Namun tidak hanya memecahkan misteri, Aza juga harus bertarung melawan dirinya sendiri.
**
Pertama-tama, ini novel John Green favorit gue. Ya posisinya sebelas dua belas sama Paper Towns.
Secara alur cerita, kisah novel ini memang tentang Aza dan Daisy yang berusaha mencari keberadaan si miliarder Rusell Picket. Tetapi di balik itu semua, tema utamanya adalah tentang mental illness. Di hampir setiap halaman Aza selalu mengkhawatirkan kalau dirinya akan terserang bakteri dan pada akhirnya meninggal.
Aza mempunyai luka kapalan di jari tengahnya. Luka itu selalu ditutupi dengan band-aid. Ketika Aza merasa terkontaminasi oleh bakteri, ia akan membuka band-aid itu dan membasuh lukanya sampai ia merasa yakin sudah bersih, bahkan sampai menuang cairan antiseptik ke luka tersebut, dan mengganti band-aid. Kehidupannya jadi terganggu karena pikiran-pikiran Aza selalu kembali pada hal itu. Gue gak mau menceritakan ekstremnya bagaimana, takut spoiler, tapi ketakutan Aza ini jadi faktor yang menentukan bagaimana dia mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya. Karena hal itu pula, Aza kadang terlalu fokus dengan dirinya sendiri. Always on her mind, with her own problem.
Yang membuat gue berpikir kalau buku ini istimewa karena dalam menceritakan ketakutan Aza, John Green gak bercerita tapi dia menunjukkan. Dia membuat pembaca mengerti bagaimana rasanya menjadi Aza dan berada dalam pikiran yang tidak bisa ia hindari. Bagaimana akibat hal itu pada orang-orang di sekitar Aza. Because of that, it sets the tone of this book a little bit somber, in my opinion.
Sembari berusaha melawan pikiran-pikirannya yang tidak terkendali itu, upayanya dan Daisy mencari petunjuk keberadaan Rusell Picket justru membuatnya jadi dekat dengan anak sang miliarder, Davis Picket. Hubungan mereka berdua ini menurut gue, datar aja. Entah kenapa mereka mengingatkan gue sama pasangan Alyssa dan James, di seri The End of The Fxxking World. Memang ada beberapa bagian favorit gue di mana mereka berbaring berdua di rumput, memandangi bintang, galaksi, sistem tata surya. Di mana Davis menjelaskan kalau makhluk di sistem tata surya yang mereka pandang, sedang melihat cahaya bumi dalam jarak beberapa tahun yang lalu.
Kalau dipikir-dipikir lagi, there is nothing much happening on the plot. Alur ceritanya tentang Aza dan Daisy yang menjadi detektif lalu sering kali upaya mereka dijeda oleh pikiran-pikiran Aza yang tidak terkendali. Ini jenis novel yang kekuatannya bukan di alur cerita. Gue gak menemukan kata untuk menjelaskannya. Tapi ini novel yang akan membuat kalian memikirkan, mempertanyakan, & merenungkan kehidupan.
Kalau kalian berharap ada humor khas John Green seperti yang kalian baca di Paper Towns atau Abundance of Katherines, you won’t get it here. Turtles All The Way Down lebih suram dari Looking For Alaska, tapi lebih bagus. I don’t know how it would affect you, but it kicks me in the gut at the very first page. Baru halaman pertama, dan gue sudah disajikan dengan kata-kata yang sangat mendalam, yang kalau gue biasanya langsung tiba-tiba berpikir makna kehidupan dan semacamnya. LOL.
Novel ini juga sedikit banyak mengenai persahabatan Daisy dan Aza. Gue tahu peran Daisy cukup banyak di novel ini, tapi gue gak melihat chemistry persahabatannya dengan Aza. Entahlah, tapi gue merasa dia cuma muncul ketika diperlukan di plot. Ketika John Green ingin alur ceritanya maju ke scene berikutnya, dia masukkan Daisy sebagai trigger. Bondingnya dengan Aza gak kelihatan. Walaupun gak adil membandingkan, tapi jika dibandingkan dengan Hassan, Tiny Cooper, atau Ben, penokohannya sebagai sahabat karakter utama cukup flat.
Satu-satunya hal yang akan gue keluhkan dan keliatannya agak gak masuk akal adalah begitu mudahnya Aza dan Daisy memperoleh data rahasia melalui browsing di internet. Ini gue yang kudet atau mereka yang memang berbakat jadi hacker, gue gak tahu.
KESIMPULAN
Entah kenapa bagus, walaupun tidak memenuhi banyak kriteria novel bagus. Favorit.
RATING
QUOTE
Aku sudah mulai belajar bahwa hidupmu adalah cerita yang diceritakan orang tentangmu, bukan cerita yang kau sampaikan sendiri – halaman 1.
Kalian menatap langit bersama-sama, dan setelah beberapa saat, dia berkata, Aku harus pergi, dan kau berkata, Selamat tinggal, dan dia berkata, Selama Tinggal, Aza, dan tak seorang pun mengucapkan selamat tinggal, kecuali mereka ingin bertemu denganmu lagi – halaman terakhir, 338.
Post a Comment
0 Comments