PAPER TOWNS: MENCARI JATI DIRI DI KOTA KERTAS




John Green
360 halaman; 20 cm
Goodreads rating: 4,01
Gramedia Pustaka Utama, 2014


----


Margo menyukai misteri sejak dulu. Dan dalam semua hal yang terjadi setelahnya, aku tidak pernah bisa berhenti berpikir bahwa jangan-jangan lantaran terlampau menyukai misteri, dia pun menjadi misteri ~ Hal. 15

---



Paper Towns secara resmi adalah novel kedua dari John Green yang akan diangkat ke layar lebar, setelah The Fault in Our Stars. Bahkan sebelum filmnya resmi release di USA bulan Juli depan, ada kabar resmi lagi dari John Green kalau Looking For Alaska juga akan difilmkan. Bisa dikatakan John Green adalah the next Nicholas Sparks.

Alasan itu juga yang akhirnya membuat gue tertarik untuk membaca Paper Towns. Entah kenapa gue pribadi punya ketertarikan sangat kuat untuk membaca novel yang difilmkan. Novelnya sendiri sudah gue beli sejak April kemarin. Setelah final test dan beberapa antrian novel yang harus dibaca, gue akhirnya menyelesaikan Paper Towns beberapa hari lalu. Perlu dua hari jeda baru kemudian gue bisa menuliskan review ini. Bukan karena sibuk atau apa, Paper Towns memberikan semacam impact tidak biasa yang membuat gue merenungkan banyak hal.

Misterius, unik, sangat lucu, dan penuh metafora.

Quentin Jacobsen bertetangga dengan Margo Roth Spiegelman. Q dan Margo berteman sejak kecil dan pada akhirnya Q menyukai Margo. Walaupun Q dan Margo kecil akrab, bertahun-tahun kemudian ketika SMA mereka hampir bisa dikatakan tidak pernah saling bicara lagi. Sebagian besar karena mereka berada pada kasta yang berbeda di sekolah. Q merupakan penghuni tetap kasta rendahan sedangkan Margo adalah sang ratu.

Hingga pada suatu malam Margo menyelinap ke kamar Q melalui jendela dengan wajah dicat hitam dan berpakaian ninja, melibatkan Q dalam aksinya untuk menyelesaikan 11 babak petualangan. Balas dendam dengan pacar dan sahabatnya yang berkhianat, mengakhiri persahabatannya dengan teman-teman populernya melalui pesan ikan lele, menjahili Chuck Parson, dan membobol Sea World. Walaupun Q selalu mengingatkan kalau ia tidak mau terlibat kasus kriminal atau pembobolan tanpa izin, Q tetap mengikuti Margo karena ia menyukainya. Petualangan satu malam itu adalah awal dari segalanya. Q berharap ia dan Margo akhirnya akan saling bicara lagi di sekolah. Namun setelah pagi, Margo Roth Spiegelman menghilang lagi.

Tentu saja Q berusaha mencari Margo dan disitulah sebagian besar inti cerita dari novel ini.

Jujur saja, Paper Towns merupakan jenis novel yang perlu dibaca lebih dari sekali untuk memahami ceritanya. Persis seperti usaha Q memahami puisi Song of Myself.

Orang-orang normal seperti Quentin hidup dengan keteraturan dan berada dalam rutinitas yang sama. Belajar di sekolah agar bisa kuliah, mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar, untuk menikah agar bisa membiayai anak-anak sehingga anak-anak bisa belajar di sekolah dan pergi kuliah dan bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih besar, dan seterusnya dan seterusnya. Yang menurut Margo adalah kehidupan kertas. Bahwa menjadi seseorang bukan seperti itu. Menjadi seseorang adalah menjadi bebas, menjadi diri sendiri. Diri sendiri adalah tidak dibatasi oleh ide orang lain tentang kita. Margo menunjukkan bahwa menjadi sama dengan orang lain, berbeda dengan menjadi diri sendiri.

Jati diri adalah ide utama dari Paper Towns.

Balik lagi pada ide utama itu, novel ini membuat kita mempertanyakan jati diri kita. Tepat sekali dengan genrenya, novel ini jelas ditujukan untuk para remaja yang sedang mencari pemahaman jati diri. Margo Roth Spiegelman “Sang Ratu” adalah gambaran umum remaja yang menjadi bagian dari banyak orang. Ketika kita ingin diterima dalam suatu kelompok, maka kita harus mengadopsi karakter kelompok ke dalam diri kita dan menghilangkan karakter pribadi yang tidak sesuai dengan kelompok. Pertanyaannya, apakah tindakan itu benar atau salah? Tidak ada yang salah dengan menjadi diri sendiri dan mengatakan “This is the real me” daripada menjadi palsu (kertas) terjebak menjadi orang lain. Namun kita juga memerlukan orang lain karena kita tidak hidup sendirian. Manusia memiliki kebutuhan bersosialiasi. Jawabannya tergantung pada pemahaman masing-masing tentang novel ini. Perkembangan karakter Quentin selama ia berusaha menemukan Margo membuat ia mengenali kelemahan dan kekuatannya dirinya sendiri. Margo membuat Q menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

Selain itu novel ini juga memberikan kita gambaran mengenai persahabatan. Kesetiaan Ben dan Radar menghadapi obsesi Quentin terhadap Margo patut diacungi jempol. Terutama Radar yang ternyata pada malam ujian malah membuat software yang bisa membantu Q meringkas artikel Omnictionary atau melacak IP orang-orang yang mencari nama Margo Roth Spiegelman tanpa diminta. Salah satu yang patut disyukuri Q walaupun tidak populer, dia benar-benar punya orang-orang yang bisa disebutnya teman.

Peran orang tua juga menjadi salah satu sorotan dalam Paper Towns. Ada orang tua Margo yang lebih peduli pada apa yang orang lain pikirkan daripada apa yang dipikirkan anak mereka.

“Aku tak peduli kau mengacaukan hidupmu, tapi jangan permalukan kami di depan keluarga Jacobsen – mereka teman kami” hal. 38

Lalu ada orang tua Q yang menganggap karakteristik Q sebagai anak baik adalah keberhasilan cara asuh mereka. Bahwa mereka mengenal Q luar dalam. Padahal sebenarnya ada yang kurang dari cara asuh mereka. Mereka tidak mengenal Q sepenuhnya. Q tahu persis bagaimana mengelabui kedua orang tuanya.

Sorotan lain dalam Paper Towns adalah kata-katanya. Pseudovisi, kuldesak. Dua kata itu sering sekali disebutkan dalam cerita dan gue harus googling untuk mencari tahu apa artinya. Lalu ada metafora-metafora yang disisipkan John Green dalam ide utama cerita ini. Metafora senar, rerumputan, dan wadah. Dont ask me, I have no idea. Sumber dari metafora itu adalah literature sastra Amerika, jadi gue benar-benar kesulitan memahaminya.

“...Kita tidak kekurangan metafora, itulah yang kumaksud. Tapi kau harus berhati-hati memilih metafora, karena itu penting. Kalau kau memilih senar, artinya kau membayangkan dunia di mana kau bisa pecah tanpa dapat diperbaiki lagi. Kalau kau memilih rerumputan, kau mengatakan kita semua terhubung, bahwa kita bisa memanfaatkan sistem akar itu bukan hanya untuk memahami satu sama lain tapi juga menjadi satu sama lain. Metafora itu memiliki implikasi...” Hal. 346

Pertanyaan gue cuma satu: bagaimana bisa Margo kecil mengerti metafora senar?

Paper Towns banyak menggunakan referensi tempat Orlando, Florida. Jadi ketika karakter-karakter di novel ini bergerak dari satu tempat ke tempat lain yang dijelaskan dengan nama-nama tempat, cuma orang-orang yang mengenal Orlando, Florida yang bisa membayangkan dengan sempurna setting tempatnya.

Paper Towns atau Kota Kertas sendiri memiliki arti yang berbeda-beda. Kertas sebagaimana dimaksudkan di awal maknanya palsu. Lalu Kota Kertas bisa juga dimaknai sebagai bagian kota yang tidak selesai dibangun dan menjadi terbengkalai. Atau Kota Kertas diartikan sebagai kota fiktif yang keberadaannya hanya ada di peta sebagai jebakan hak cipta bagi para pembuat peta jika ada yang menjiplak peta mereka. Kota Kertas dalam cerita ini menjadi petunjuk penting untuk menemukan Margo.

Paper Towns dibagi dalam tiga bagian cerita. Bagian pertama, senar. Bagian kedua, rerumputan. Bagian ketiga, wadah yang merupakan bagian paling lucu dan paling asyik untuk dibaca. Kalian pasti akan kesulitan untuk menahan ketawa saat sampai di bagian ini, terutama karena ulah Ben. Quentin, Ben, Radar, dan Lacey melakukan perjalanan akhir untuk menemukan Margo. Dan di bagian inilah interaksi karakter mereka yang sangat-sangat-sangat gue sukai. Menjawab pencarian jati diri yang gue sebutkan sebelumnya: mereka menjadi diri sendiri di dalam kelompok.

Margo Roth Spiegelman, pantas dibahas di akhir. Karena selain sebagai karakter, Margo juga adalah ide dan tema cerita. Orang yang menjadi awal dan akhir, sebab dan akibat dari keseluruhan yang terjadi pada karakter-karakter di novel ini. Uniknya karakter Margo adalah ia tetap semu, tidak terdefinisi, enigma, atau misteri. Hingga akhir.

Ending Paper Towns terasa tepat dan benar. Maksud gue, pembaca ingin akhir yang bagaimana lagi? Apa yang ditulis John Green merupakan ending paling realistis yang bisa didapatkan Quentin dan Margo. Gue sudah membayangkan “bagaimana jika A” atau “bagaimana jika B” dan itu justru akan menurunkan derajat novel ini menjadi biasa.




Rating: 







ps: Gue gak memberi rating sempurna karena gue gak bisa membayangkan Orlando, Florida secara sempurna dan sebagian besar lagi karena bagian-bagian dari metafora novel ini yang susah untuk dimengerti.


Quote:
“Kesalahan mendasar yang selalu kulakukan – dan dia, sejujurnya, selalu mendorongku melakukannya- adalah ini: Margo bukan keajaiban. Dia bukan petualangan. Dia bukan sosok yang luar biasa dan berharga. Dia hanya seorang gadis.”

Post a Comment

1 Comments

  1. makasih banyak kak buat reviewnya, keren. semangat kak buat tulisan2 selanjutnya!

    ReplyDelete