LOOKING FOR ALASKA (Cewek Terseksi Sepanjang Sejarah Manusia) - JOHN GREEN




“LOOKING FOR ALASKA” – MENCARI ALASKA


John Green

288 halaman; 20 cm

Goodreads rating: 4,15

Cetakan Ketiga, September 2014

Gramedia Pustaka Utama


---


  Miles “Pudge” Halter yang membosankan masuk sekolah berasrama untuk menemukan “Kemungkinan Besar”. Ia bertemu dengan Kolonel, Takumi, Lara, dan Alaska “Misterius-Impulsif” Young, cewek terseksi sepanjang sejarah manusia. Persahabatan Pudge dengan teman-teman barunya diwarnai dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan sekolah dan persaingan dalam hal kejahilan dengan para Weekday Warriors. Walaupun sebenarnya Pudge digambarkan tidak terlalu bersemangat sebelum “kehilangan” tetapi peristiwa itu memberinya pencerahan dan mengajarkan banyak hal. 

   Gue gak bisa berhenti berpikir kalau judul novel ini sebenarnya lebih cocok untuk Margo (Paper Towns). Looking For Margo. Jadi memang benar. Ada kesamaan dalam dua novel milik John Green ini. Pertama, karakteristik tokoh utama pria yang pasif. Walaupun Pudge cenderung lebih sensitif dan pendiam. Kedua, cerita menitikberatkan pada segala hal yang terjadi pada tokoh utama wanita. Belum lagi Alaska Young dan Margo Roth Spiegelman berbagai gen misterius yang sama. Dan menurut berbagai review, Abundance of Katherine yang belum gue baca juga akan memiliki karakteristik tokoh yang serupa. 

   Namun, gue menentang review yang mengatakan Alaska dan Margo itu kurang lebih sama. Margo memiliki semangat untuk bebas dan tidak terkendali. Sedangkan Alaska tidak memiliki tujuan dan putus asa, hopeless. Jadi, Looking For Alaska jauh lebih suram. Gue juga bukan penggemar selera humor di novel ini. 

  Satu hal yang bisa pembaca andalkan dari John Green adalah bahwa semua karyanya memiliki kedalaman makna. Tidak dangkal. Bukan sekedar novel yang terdiri dari ide, alur, karakter, tempat, atau pesan. Menurut gue pribadi dan sejauh ini gue baru membaca tiga karya John Green, these books do something to me. 

   “Rasa bersalah” mungkin bukan ide cerita yang menarik bagi penulis lain dibandingkan isu broken-home, kekerasan, atau bullying. Seringnya gue baca YA, isu remaja gak jauh dari tiga hal itu dan eksekusinya selalu drama banget. Dalam kategori YA, Looking For Alaska boleh dikatakan spesial karena bebas dari ketiga hal tersebut dan segala hal yang berbau lovey-dovey. Merlin knows, most of YA books contain a lot of lovey dovey things *rolling my eyes here*

  Persahabatan. Kebanyakan novel John Green memang membicarakan persahabatan. Mungkin itu cara John Green mengingatkan para anak muda, udahlah jangan cinta-cinta mulu, cari sahabat sejati. Di novel ini misalnya ketika Pudge dan Kolonel menyimpan rahasia tentang apa yang terjadi di malam kecelakaan Alaska dari Takumi dan Lara. Atau Takumi yang juga merahasiakan apa yang diketahuinya di malam kecelakaan Alaska karena ia sakit hati disisihkan dari segala yang terjadi. Seolah cuma Pudge dan Kolonel saja yang berhak untuk mencari kebenaran atas kepergian Alaska. Jadi yah, persahabatan juga banyak isu-isunya. 

   Terimakasih kepada referensi John Green terhadap berbagai kata-kata terakhir yang terkenal. Untuk menambahkan makna dan kerumitan ke dalam cerita ini. Alaska di umur yang semuda itu membaca The General in His Labyrinth dan mempertanyakan kata-kata terakhir Simon Bolivar. Mengagumkan. Gue mendapat kesan siswa senior-high Amerika mendiskusikan Shakespeare, Jane Austen, atau Charlotte Bronte pada saat di kelas. Walaupun ini diluar topik, gue berharap di Indonesia setidaknya ada satu bab pelajaran mendiskusikan Laskar Pelangi atau Di Bawah Lindungan Ka’bah secara mendalam, bukan unsur intrinsik atau ekstrinsik novel. 

   Awalnya gue penasaran, apa menariknya “kata-kata terakhir” dan kenapa harus “kata-kata terakhir”? Kata-kata terakhir adalah kata-kata yang diucapkan tokoh terkenal di detik-detik terakhir hidup mereka. Sedikit banyak hal itu memberikan petunjuk tentang apa yang terjadi pada Alaska. Ya, gue sudah menduga Alaska akan meninggal. 

  Cewek-cewek akan menitikkan air mata dan cowok-cowok akan menemukan cinta, gairah, kehilangan, dan kerinduan... (Kirkus, starred review) Gue harus bilang kalau kata-kata di cover belakang novel ini agak berlebihan. Looking For Alaska gak membuat gue menitikkan air mata. Sedih ya, bikin depresi? Definitely not. 

   Selama membaca bagian emosional di novel ini (re: SESUDAH) gue gak menemukan jawaban atas pertanyaan ini: kenapa Jake tidak menghadiri pemakaman Alaska? Sebagai pacar dan orang yang menurut Alaska dicintainya dan pada detik terakhir mereka tidak bertengkar, bagaimana mungkin Jake tidak hadir di pemakaman Alaska? Mungkin John Green lupa. 

   Walaupun banyak hal yang bisa direnungkan dari Looking For Alaska, sejujurnya novel ini agak membosankan. Miles “Pudge” lebih kaku, sensitif banget, dan hampir-hampir tidak memiliki semangat bersenang-senang. Bahkan jika dibandingkan dengan Quentin (Paper Towns). Sebelum peristiwa Alaska, Pudge kesannya cuma ikut sana, ikut sini. Seandainya aja Pudge memiliki se-ons lebih banyak selera humor. 

   Berdasarkan pendahulunya, The Fault In Our Stars dan Paper Towns, novel ini juga akan difilmkan. Belum ada tanggal resmi kapan tayangnya karena baru saja diumumkan beberapa minggu yang lalu oleh John Green. Jangan terlalu berharap akan booming seperti TFIOS. Let’s just say, ini bukan novel yang menarik untuk difilmkan. 

Kesimpulan: berkesan tetapi membosankan


RATING


Ps. Itu 3,7 bintang yaa



QUOTE 


“Suatu hari nanti tak seorang pun akan ingat bahwa Alaska pernah ada, tulisku di buku catatan, atau bahwa aku pernah ada. Karena kenangan juga musnah. Dan setelah itu tak ada yang tersisa bagimu, bahkan hantunya pun tidak, hanya bayangannya. Pada awalnya Alaska menghantuiku, menghantui mimpi-mimpiku, tapi bahkan sekarang, hanya beberapa minggu setelahnya, ia mulai menyelinap pergi, musnah dalam ingatanku dan ingatan semua orang lainnya, meninggal lagi.” Hal.246

Post a Comment

0 Comments