SEKUEL YANG BERKUALITAS: NEGERI DI UJUNG TANDUK



Tere Liye

360 halaman, 20 cm

Goodreads rating : 4,19

Terbit April 2013, Cetakkan keenam

Gramedia Pustaka Utama


----


   Di Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak, bukan karena orang jahat semakin banyak, tapi semakin banyak orang yang memilih untuk tidak peduli lagi. 

   Di Negeri di Ujung Tanduk para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang menjadi teladan, tapi mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian.

   Di Negeri di Ujung Tanduk setidaknya, kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci, meski habis seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan berdiri paling akhir, demi membela kehormatan.

--


   Negeri di Ujung Tanduk adalah sekuel dari Negeri Para Bedebah. Kalau ini buku terakhir, selamanya gue gak akan pernah tahu nama belakang Thomas. 

  Gue gak akan memberikan ringkasan bagaimana novel ini dimulai karena semuanya amat persis dengan buku pertama, NEGERI PARA BEDEBAH. Sejujurnya, gue bahkan berpikir buku kedua ini dibuat dengan outline yang sama dengan buku pertama. Pola cerita tidak mengalami banyak perubahan. Mungkin ada orang yang mengatakan mereka lebih menyukai buku pertama atau sebaliknya. Menurut gue, hal itu tergantung pada buku mana yang pertama mereka baca. Pasti buku itulah yang menjadi favorit mereka. Karena hal itu yang terjadi sama gue. 

   Gue pribadi lebih suka NEGERI PARA BEDEBAH karena gue baca dwilogi ini secara berurutan. Ketika gue baca NEGERI DI UJUNG TANDUK, rasa-rasanya gue bisa menebak apa yang akan terjadi di setiap kejutan ceritanya. Salah seorang teman membaca buku kedua lebih dulu dan ia mengatakan buku kedua lebih baik. Kayaknya teori gue benar. 

   Kali ini Tere Liye terinspirasi dari carut marut pemilihan presiden tahun lalu. Ini benar-benar keahlian Tere Liye, isu kekinian yang dikemas menjadi fiksi. Beberapa karakter bahkan menggunakan nama-nama terkenal seperti Najwa dan Tina. Tahukan Najwa Shihab dan Tina Talisa? Ini pendapat gue pribadi aja sih, tapi NEGERI DI UJUNG TANDUK diterbitkan pada momentum yang tepat saat itu dan benar-benar menguntungkan salah satu calon presiden. 

Kemungkinan atau sengaja? Entahlah ya. 

   Gue kesulitan membuat review ini karena hampir seluruh hal sudah gue bahas di review NEGERI PARA BEDEBAH. Itu gak bisa dihindari karena –lagi-lagi gue harus mengatakan- NEGERI DI UJUNG TANDUK amat persis dengan buku pertama. Konferensi – pertarungan – wawancara – masalah – diskusi dengan wartawan – pengejaran di kantor - dipenjara – kabur – penyelesaian konflik di kapal. Gak ada unsur kejutan. 


Ada sih beberapa hal yang menjadi catatan gue untuk review kali ini. 

   Misalnya tentang karakter Maryam. Sungguh, bukannya gue lebih mendukung Julia atau Maggie. Maryam hampir bisa dikatakan tidak memiliki peran penting dalam cerita kali ini. Gue merasa ini cuma suatu keharusan bahwa Thomas harus didampingi karakter wanita. Seperti wanita-wanita James Bond dan Robert Langdon. Gini lo, kalau Maryam gak ada, gue rasa Thomas tetap mampu membuat janji dengan lima pimpinan KPK bagaimanapun caranya. Selebihnya Maryam tidak memiliki peran lagi selain mengikuti Thomas ke berbagai tempat. 

   Lalu ada Tuan Shinpei. Otak dari segala kejahatan di dwilogi ini. Setelah kemunculannya yang luar biasa di kapal, lalu dia tertangkap begitu saja dalam penyerbuan. Entahlah, bagi gue itu bukan ending yang layak untuk Tuan Shinpei. Kalau gue jadi Shinpei, gue akan langsung mengamankan diri keluar dari kapal di detik pertama gue tahu kalau Thomas memiliki bala bantuan. Bukannya karakter Shinpei memang seperti itu? Tapi kenapa dia malah bersembunyi di salah satu bagian kapal? Gak masuk akal, dia jauh lebih licik dari itu. 

   Kalau dari banyak-banyakan peluru sih, NEGERI DI UJUNG TANDUK jelas lebih unggul dari buku pertama. 

   Catatan lain yaitu interaksi antar karakter dari percakapan mereka. Terasa kaku dan sangat formal. Itu sudah terjadi sejak buku pertama, hanya saja saat itu gue terlalu antusias dengan ceritanya. Jadi bagi gue gak masalah. Sekarang jadi masalah. Percakapan karakter di cerita ini terasa seperti pembicaraan formal di ruang meeting bisnis. Nah mungkin itu salah satu kekurangan yang membuat beberapa pembaca merasa bosan. 

   Salah satu hal yang gue sukai dari buku ini adalah bagaimana Tere Liye menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang bersih dan peduli. Contohnya JD, klien politik Thomas. Walaupun dia digambarkan seperti malaikat. Lalu ada para pimpinan KPK. Gue terharu ketika membaca komitmen KPK memberantas korupsi. Gue berharap KPK sebersih dan se-powerful itu. Atau bagaimana Tere Liye menggambarkan kalau KEPOLISIAN INDONESIA tidak sebobrok ‘itu’. Ada orang-orang seperti Rudi yang masih berkomitmen dan menolak keras suap. Bahwa sekecil apapun itu, kebaikan masih ada. 

   Secara keseluruhan, NEGERI DI UJUNG TANDUK menyampaikan banyak sekali nasihat. Gak perlu susah-susah mencari tahu nasihatnya karena ditunjukkan secara gamblang. Terutama nasihat di halaman paling akhir buku ini. Jarak antara hal baik dan hal buruk hanyalah kepedulian. 

Gue sarankan NEGERI DI UJUNG TANDUK untuk pembaca yang menyukai buku berkualitas. 

Sebagai penutup, gue masih tetap dengan pendirian gue kemarin, Thomas memiliki selera humor yang garing. Well, sebenarnya humor di buku ini garing. Kecuali Opa. 



RATING


Ps: Gue gak bisa memberikan rating sempurna, berhubung NEGERI DI UJUNG TANDUK gagal memberikan sesuatu yang berbeda dan mengejutkan. 


QUOTE
“Maafkan saya, tapi saya akan tegaskan di depan kalian semua, bahwa bagi kami, politik tidak lebih adalah permainan terbesar dalam bisnis omong kosong, industri artifisial penuh kosmetik yang pernah ada di dunia. Sebagaimana sebuah bisnis omong kosong dijalankan, kita harus berdiri di atas ribuan omong kosong agar omong kosong tersebut menjadi sesuatu yang bisa dijual dengan manis, dan dibeli dengan larisnya oleh para pemilih. Anda boleh saja tidak sependapat. Silakan. Tetapi saya dibayar mahal untuk memoles omong kosong tersebut, menjualnya, dan simsalabim, menjadi king maker, mendudukkan orang-orang di kursi kekuasaan.”





Post a Comment

0 Comments